Paradase.id – Aksi seruan boikot produk pro Israel masih marak bermunculan di media sosial dan terus menggema yang berdampak pada turunnya penjualan produk-produk ritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berharap konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel tidak mengorbankan hak konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi produk tertentu.
Selain itu, akan ada pengaruh besar terhadap operasional bisnis. Akibat lanjutannya, ada potensi mendatangkan penurunan ekonomi RI hingga bisa berujung langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Roy mengatakan, Aprindo sangat mengapresiasi dan mendukung usaha-usaha perdamaia yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, pihaknya meminta agar pemerintah juga akan mengambil langkah untuk membantu industri agar bisa survive sehingga hak konsumen untuk memilih, membeli dan mendapatkan produk tidak dikorbankan.
“Jadi membeli, mengkonsumsi itu hak konsumen, hak masyarakat, unutk itu perlu dilindungi, dijaga marwahnya,” ujar Roy dalam jumpa pers Aprindo di Jakarta, Rabu (15/11).
Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel ke Palestina hukumnya haram.
Berdasarkan fatwa tersebut umat Islam diminta semaksimal mungkin menghindari transaksi ataupun menggunakan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel serta mendukung penjajahan.
Roy menegaskan, bahwa pihaknya tidak menentang fatwa dari MUI maupun membela jenama-jenama yang terkait dengan Israel. Dalam hal ini, Aprindo hanya berusahan untuk menjaga hak dari konsumen.
“Kita dukung perdamaian, jaga hak konsumen yang terus memenuhi kebutuhan pokoknya setiap hari dan pemerintah harus hadir,” pungkasnya.
Sebagai dampak lanjutannya, kondisi pemboikotan produk yang terafiliasi dengan Israel, dalam jangka menengah dan panjang dapat memberikan dampak pada produsen atau suplier yang memiliki pabrik di Indonesia. Roy menilai, nantinya minat investor terhadap perusahaan-perusahaan terkait bisa ikut turun karena melihat dari turunnya operasional dari perusahaan terkait.
Saat produksi produk dari suplier berkurang dan berhenti, maka akan memberikan dampak pada pengurangan tenaga kerja.
“Begitu tergerus produsennya atau supliernya, divestasi misalnya, pertumbuhan pasti enggak terjadi, bahkan pelaku usaha tidak mau melakukan ini, yaitu pengurangan tenaga kerja atau PHK,” ucap Roy.
Di samping itu, Roy menilai kondisi ini juga akan mengganggu hak-hak konsumen dalam memilih produk. Dalam hal ini, ada potensi sejumlah konsumen kesulitan mendapatkan produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot, padahal bisa saja produk itu memang tidak dapat digantikan dengan produk lain.
“Ada hak konsumen yang perlu dilindungi di tengah seruan aksi boikot dan pertimbangan dampak ekonomi secara lebih luas,” katanya.
Respon Kemenperin
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa selaku pembina industri nasional, tidak dalam posisi mendukung ataupun menolak seruan aksi boikot produk-produk tersebut.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, Kemenperin fokus pada upaya pengetatan arus barang impor. Ranah Kemenperin adalah menjalankan kebijakan-kebijakan yang mendukung produktivitas dan daya saing sektor industri.
“Saat ini, fokus kami adalah langkah-langkah pengetatan arus barang impor untuk mendukung pengembangan pasar dalam negeri,” ujar Putu.
“Hal ini kami lakukan agar industri kita semakin kuat dan produk-produknya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” imbuhnya.(sumber: kompas.com/Muhammad Idris)
Editor: Annisa