PARADASE.id – DPRD Bontang memanggil manajemen Grab Cabang Bontang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan Komisi I dan Komisi III di Ruang Rapat II Sekretariat DPRD Bontang, Senin (27/7/2020) pagi.
Materi pertemuan seputar penghapusan insentif kepada driver Grab dan kenaikan tarif yang dinilai membebani pelanggan. Driver Grab mengadukan keputusan perusahaan tersebut hingga akhirnya DPRD Bontang menilai perlunya mediasi.
Perwakilan Driver Grab Bontang, Ismail, menyampaikan enam poin tuntutan para mitra yakni awak ojek online. Pertama, adanya kenaikan tarif sebesar Rp 1.000 yang dibebankan kepada pelanggan. Dua, adanya keputusan sepihak dari pihak Grab yang melakukan penghapusan insentif senilai Rp 50.000 per 20 trip yang diganti dengan cashback. Ketiga, permintaan untuk mengkaji jumlah driver Grab di Bontang sesuai dengan quota dan batas maksimum dari dinas terkait.
Keempat, meminta kepada pihak manajemen untuk mengkaji ulang pendapatan besaran nominal, sesuai standarisasi pendapatan sektor jasa transportasi. Kemudian yang kelima, meminta pihak Grab untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan dengan melibatkan mitranya. Dan terakhir, meminta kepada pihak Grab untuk lebih mengedepankan kesejahteraan driver melalui alokasi dana CSR, yang selama ini belum dialokasikan secara merata.
“Kami mempertanyakan pihak top manajemen untuk lebih transparan. Mengingat nominal tersebut diambil dari pelanggan atau CS yang secara langsung bersinggungan dengan publik. Meminta agar pihak applikator menghapus kebijakan poin 1 dan 2, yang dinilai memberatkan kalangan driver apalagi di tengah pandemik Covid-19 yang masih terus terjadi,” tegas Ismail.
Sementara itu, Ketua Komisi III Amir Tosina yang memimpin jalannya RDP menyimpulkan hanya lima poin yang dapat ditindaklanjuti. DPRD Bontang juga akan mendesak pelaksanaan lima tuntutan tersebut agar dapat direalisasikan segera.
“Pertama dalam kurun waktu 10 hari kerja harus ada jawaban dari pihak Grab pusat. Kedua, pihak grab harus melegalkan izinnya di Bontang melalui DPMPTSP.”
“Ketiga menyampaikan alamat kantor Grab secara jelas keberadaannya. Lalu keempat memberikan asuransi kepada pada driver ojol dan kelima melampirkan total jumlah driver Grab secara keseluruhan untuk di Bontang,” ungkapnya.
Dirinya menilai, apa yang terjadi saat ini hanya dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik antara aplikator dan pihak driver.
“Hanya kurang komunikasi saja sebenarnya, karena pihak aplikator menaikkan harga tanpa ada koordinasi,” tutupnya.
Sementara itu, City Manager Grab Kaltim Hendrik Banga mengklaim jika kenaikan tarif Rp 1.000 merupakan biaya jasa pengembangan aplikasi saat Grab meluncurkan produk baru yang sudah sejak lama direncanakan. Namun selama ini, perusahaan hanya menunda penerapan kebijakannya.
“Sebenarnya hal tersebut tidak hanya di Grab saja tetapi di aplikator lainnya yang ada di Kaltim juga memberlakukan hal yang sama. Untuk Bontang sendiri hal tersebut telah terlebih dahulu diberlakukan kepada Grab-car sekira setahun yang lalu sebesar Rp 2.000,” katanya.
Terkait tariff baru, pihaknya mengacu pada pedoman dari Peraturan Menhub (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 yang mengatur aturan angkutan sewa khusus serta Keputusan Menhub (Kepmenhub) Nomor tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.
Aturan ini menyinggung tarif batas dan batas bawah serta tarif minimum baru yang telah diputuskan sejak setahun terakhir itu.
“Jadi sini tidak ada yang dilanggar Grab dari sisi tarif harga,” jelasnya.
“Terkait tuntutan lainnya seperti bagaimana CSR saya butuh waktu untuk mengkoordinasikan dengan pihak pusat,” lanjutnya. (Adv)