Pesta demokrasi rakyat Indonesia (Pemilu) akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang. Namun, euforia dan antusiasme masyarakat awam dan masyarakat politik sudah begitu terasa. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pemberitaan mengenai persiapan pesta demokrasi tersebut melalui berbagai media, tak terkecuali media online (internet; baik youtube, portal-portal website ataupun media sosial).

Jika kita cermati secara seksama, berita-berita yang beredar berkenaan dengan pesta demokrasi pada 2024 mendatang berputar pada trend politik keagamaan dan identitas para calon pemimpin negara. Penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama (Abdillah, M. 2018)) , jika pelibatan agama dalam politik dilakukan: (1) berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional. Politisasi agama pada pesta demokrasi pemilu ini tentunya rentan memicu konflik. Konflik ini akan terjadi khususnya pada kelompok-kelompok ekstrim dan eksklusif pada suatu pemahaman dan keyakinan tertentu, termasuk beragama.
Berdasarkan penelitian Widian dkk yang diterbitkan pada Cambridge University Press (2023) dengan judul Religion in Indonesia’s Elections: An Implementation of a Populist Strategy? menyatakan bahwa “It argues that the strategic environment faced by populist actors in Indonesia’s 2019 election affected their decision to choose Islamic narratives as an instrument for mass mobilization.”
Ini artinya narasi-narasi keislaman digunakan sebagai alat untuk menggerakkan massa pada Pemilu 2019 karena lingkungannya (ruang lingkupnya) yang strategis, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia.
Balutan politisasi agama baik langsung ataupun tak langsung pada berita-berita yang disajikan di media online, tak terkecuali pada persiapan pesta demokrasi ini tentunya akan melahirkan suatu perubahan radikal yang sangat cepat dan mungkin juga akan mengakibatkan efek domino yang luar biasa masif termasuk dalam perilaku beragama tadi.
Maka, tidak heran bagi kita ketika menemukan munculnya ujaran-ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu bahkan individu tertentu. Ujaran-ujaran kebencian yang disampaikan baik secara lisan maupun melalui tulisan sangat banyak kita dengar dan baca, terlebih di era disrupsi digital seperti sekarang ini. Jelas ini menjadi paket komplit nan istimewa ketika pesta demokrasi pemilu dengan segala bentuk persiapannya, euforia, dan keantusiasannya disebarluaskan melalui berbagai media online, yang tentunya tidak bisa kita bendung.
Kemudahan akses internet tanpa adanya aturan baku pada era disrupsi digital, menjadikan berita-berita ataupun informasi yang beredar layaknya seperti pasar bebas, siapa pun dapat menulis informasi apapun dan dapat mempublikasikannya, serta menjadi konsumsi secara bebas dan luas. Bahkan digemari oleh generasi muda kita. Ingat, KPU menyatakan bahwa pemilih pemilu 2024 didominasi oleh kelompok Gen Z dan Milenial.
Ekses era disrupsi yang didalamnya terdapat pesta demokrasi (pemilu) yang dibalut dengan politisasi agama lantas akan menciptakan dislokasi intelektual dan kultural serta akan mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019). Lantas bagaimana upaya kita menghadapi Pesta Demokrasi (Pemilu) dan Politisasi Agama di Era Disrupsi Digital sekarang ini? Jawabannya tidak lain adalah moderat dalam beragama, moderasi beragama adalah solusi kunci.
Moderasi beragama adalah solusi yang ditawarkan oleh Kementerian Agama untuk mengatasi riak-riak perpecahan yang mungkin saja terjadi di kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena adanya keberagaman dan kemajemukan. Namun, moderasi beragama ini tidak akan berhasil jika hanya dijalankan oleh Kementerian Agama saja. Oleh karenanya, siapapun kita dan dari latar belakang apapun kita mari bersama-sama menumbuhkan dan menjalankan sikap moderat dalam beragama.
Moderasi harus kita pahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, dimana setiap dari kita, apapun suku kita, etnis, budaya, agama bahkan pilihan politik harus tetap mau saling mendengarkan satu sama lain, bersama melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan diantara kita. Jelaslah bagi kita, bahwa moderasi beragama erat kaitannya dengan toleransi dan tenggang rasa sebagai perwujudan dari warisan leluhur kita dan komitmen terhadap bangsa kita untuk saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain yang berbeda dengan apa yang kita pahami dan yakini. Sehingga tidak muncul apa yang disebut ekstrimisme dan eksklusivisme dalam menyerap dan memahami informasi-informasi yang beredar luas di era disrupsi digital serta dalam bersikap dan bertindak, pun halnya dalam menyemarakkan pesta demokrasi pemilu ini.
Terakhir, tetapi bukan penutup dari paparan ini. Menyikapi pesta demokrasi pemilu dan politisasi agama di era disrupsi digital harus juga menjadikan prinsip adil dan berimbang dalam moderasi beragama sebagai nilai yang bermanfaat untuk mengelola informasi, meminimalisir hoax. Kementerian Agama melalui buku Moderasi Beragama (2019) menyatakan bahwa moderasi beragama memberi pelajaran untuk berfikir dan bertindak bijaksana, tidak fanatik atau terobsesi buta oleh satu pandangan keagamaan seseorang atau satu kelompok saja, tanpa mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau kelompok lainnya.
Sebagai penutup, mengutip apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo, saat memimpin Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila yang digelar di Sisi Selatan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 1 Juni 2023:
“Oleh sebab itu saya mengajak kita semuanya untuk menolak ekstrimisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama. Mari kita menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024 dengan kedewasaan, dengan sukacita, dengan memegang teguh nilai-nilai pancasila, memperjuangkan Indonesia maju yang adil, yang sejahtera, serta berwibawa di kancah dunia,” (kbr.id., 2023).
Mari kita menjadi masyarakat yang terlibat aktif menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi Pemilu 2024 nanti ditengah era disrupsi digital dengan semangat moderasi beragama, menjunjung kedaulatan rakyat dan menghormati serta menghargai asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Wallahua’lam.
*Khairiatul Muna, M.Pd Dosen UIN Antasari Banjarmasin. Tulisan didedikasikan untuk materi Moderasi Beragama pada Kegiatan Peningkatan Kualitas Dosen Pemula (PKDP) 2023.
Narasi Ekstrem yang Dicounter dalam tulisan ini adalah: Politisasi Agama dalam Pemilu 2024 (Pada Era Disrupsi Digital)
Indikator Moderasi Beragama : Komitmen Kebangsaan dan Toleransi
Nilai Moderasi Beragama : Adil dan Seimbang