Paradase.id – Peperangan yang terjadi di Gaza usai kelompok pejuang Palestina, Hamas, menyerang negara Zionis pada Sabtu (7/10) pagi hingga saat ini masih berlangsung dan Israel melakukan serangan balik. Duka mendalam bagi para korban ketika dihadapkan dengan pilihan yang sangat terbatas untuk menyelamatkan diri.
Sejumlah relawan asal Indonesia, yang tergabung dalam Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) dan bertugas di RS Indonesia di Gaza hingga saat ini masih bertahan di Gaza.
Dr. Sarbini Abdul Murad, Head of Presidium MER-C, mengatakan para relawan MER-C tetap bertahan merawat korban perang. Mereka juga diminta menjaga diri. Saat ini masih ada lima relawan yang terdiri dari tiga dokter dan dua engineer.
Salah satu relawan, Farid Zanzabil, yang kini masih berada di Gaza, menceritakan kengerian kondisi saat Israel menggempur Gaza. Dia berada disana sejak 19 Februari 2020. Menurutnya, selama dia di sana, perang yang terjadi tahun ini merupakan yang paling parah.
“Perang hari ini paling parah karena bukan lagi status agresi militer tapi sudah status perang dan status perang itu sudah terjadi terakhir 50 tahun yang lalu pada 1973 kurang lebih. Perang ini buat saya lebih dahsyat, memakan korban lebih parah dibanding 2021,” ungkap Farid, dilansir dari kumparan, Rabu (11/10)
Farid menyampaikan kondisi gedung-gedung dan rumah-rumah warga di Gaza sudah menjadi rata dengan tanah. Bahkan masjis juga menjadi sasaran dalam peperangan ini. Akses internet dan listrik juga terputus karena ledakan yang diluncurkan tentara Israel.
Tak hanya itu, menurut Farid, ada momen yang membuat ia takut dan gelisah. Pada tanggal 7 Oktober, ketika ia sedang memantau situasi di Wisma MER-C yang merupakan tempat tinggal para relawan dan berdekatan dengan RS Indonesia. Tiba-tiba, bom jatuh tepat di depannya. Jarak dia dengan tempat jatuhnya bom sekitar 5 meter.
“Ketika suatu waktu ada bom benar-benar di depan mata kami, jarak antara saya berdiri dengan roket yang jatuh di depan wisma kita dan mengincar mobil operasional MER-C. Jaraknya dari saya cuma 3-5 menter,” kata Farid.
Farid mengatakan insiden itu terjadi sekitar pukul 09.30 waktu setempat. Kejadian itu masih terngiang hingga saat ini, bahkan salah satu staf pekerja lokal di MER-C, Abu Romzi menjadi korban akibat ledakan tersebut.
Relawan lain, Fikri, yang tinggal di Gaza sejak tahun 2020 juga menceritakan hal serupa. Saat terjadinya serangan Israel itu suasana Gaza menjadi tak karuan.
“Saat itu memang kita panik, ya karena bomnya dari drone. walaupun kecil, tapi menyebabkan kaca kantor rusak. Saat itu kita diperintahkan mengungsi oleh pihak pengamanan rumah sakit. Tapi memang serangan balasan Israel sudah membabi bua ke seluruh jalur Gaza,” ucap dia.
Fikri mengatakan selama berada di Gaza, perasaanya campur aduk. Ada kalanya dia merasa senang waktu kondisi tenang. Namun, saat kondisi gempuran dari Israel, dia merasa sedih.
“Dukanya memang kita lihat sendiri seperti saat ini, ya Allah, saya lihat dengan mata kepala sendiri, ketika bangunan itu runtuh yang 6 lantai, 7 lantai, itu kan rumah orang Gaza, ya. Jadi si dini rumah seperti gedung-gedung (bertingkat) karena Jalur Gaza kan sempit, namun jumlah masyarakatnya ada dua juta, mereka rumahnya do gedung itu,” terang Fikri.
Kantor kemanusiaan PBB melaporkan sekitar 200.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka yang hancur ke gedung-gedung sekolah. Mereka juga harus menghadapi kekurangan air serta listrik akibat blokade total yang dilakukan Israel.
Kementerian Kesehatan Gaza menyebut, per Rabu(11/10), total warga Gaza yang terbunuh mencapai 950 orang dan 5.000 lainnya luka-luka.
Akar Masalah Konflik
Konflik Palestina vs Israel telah berlangsung sekitar 7 dekade, dipicu oleh perebutan wilayah Palestina oleh Israel yang mendapat sokongan negara-negara Barat.
Seiring dengan perlawanan rakyat Palestina, Israel kemudian membuat blokade di Gaza pada tahun 2006 dengan membangun tembok setinggi 6 meter dengan panjang 65 km.
Hamas sebagai faksi Palestina yang menguasai Gaza, pada 7 Oktober 2023 melakukan perlawanan yang tak pernah dibayangkan oleh Israel. Serangan ke bagian selatan Israel pada pagi buta yang dilakukan melalui udara, darat, dan laut dianggap mempermalukan negara Zionis tersebut. Sehingga Israel membalas dengan pernyataan “perang” kepada Hamas.
Hamas menyebut, serangan ke Israel itu merupakan respons atas kekerasan Israel pada kaum wanita yang beribadah di Masjid A-Aqsa, penodaan pada Masjid Al-Aqsa, dan blokade terhadap Gaza yang masih berlangsung hingga saat ini. (Sumber: kumparan/Reza Aditya Ramadhan)
Editor: Bintang