Esensi dari nilai-nilai yang hendak diwujudkan dalam sikap moderasi beragama adalah terciptanya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Dalam sekat ruang di mana seseorang bertempat tinggal, domain publik menjadi panggung pertunjukan sikap moderat. Perilaku yang mengacu pada nilai sebagai bentuk penghayatan agama. Dari sini maka dapat dikembangkan sikap penghormatan terhadap perbedaan keyakinan dan cara pandang beragama. Menurut Tim Penyusun Kementerian Agama RI (2019), Dalam konteks Indonesia kekinian, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan. Moderasi beragama menjadi unsur penting untuk menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, bahkan menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama Kementerian Agama. Di saat bersamaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Internasional (The Internasional Year of Moderation). Akar moderasi beragama di Nusantara bisa dilihat dari sejarah masuk dan berkembangnya Islam di wilayah ini. Sejumlah sejarawan menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara didakwahkan oleh para mubaligh. Sebagian besar dari mereka merupakan para sufi. Mereka menyebarkan agama dengan dakwah yang santun sebagaimana tercermin dalam ajaran tasawuf. Menurut Aziz (2019), Para sejarawan menyatakan bahwa Islam diberitakan melalui cara yang damai dan mengakomodir budaya-budaya lokal. Kecenderungan moderasi karena Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para sufi . Mereka dikenal memiliki karakter adaptif dalam menjalankan ajaran agama.
Agama islam masuk ke Kalimantan Selatan melalui para mubaligh dari Samudera Pasai, Islam masuk, diterima dan berkembang sangat cepat di kalangan masyarakat suku Banjar. Daud (1997) menyatakan bahwa hampir tidak ada aktivitas keseharian suku Banjar yang tidak mendapatkan warna agama. Baik aktivitas individu maupun dalam pergaulan sosial. Kenyataan bahwa sebelum masuknya islam, masyarakat Banjar telah mengenal budaya yang berasal dari agama Hindu, tidak menyurutkan perkembangan islam. Justru dengan cara yang adaptif untuk mengatakan moderasi beragama, maka dalam aktivitas kehidupan praktik budaya lama tetap dijaga.
Pendekatan dakwah yang ditampilkan oleh para mubaligh tidak serta merta mengesampingkan budaya yang ada. Dalam praktiknya budaya tetap dilaksanakan dengan mendapatkan sentuhan ajaran agama. Penelitian, Indrayani (2019) memotret contoh budaya yang tetap dijaga namun telah mendapatkan warna agama. Budaya “piduduk”. Piduduk merupakan alat “sesaji” upacara. Sebuah ritual yang terpengaruh dari upacara agama Hindu. Praktik ini telah membudaya dalam kehidupan masyarakat suku Banjar. Dalam banyak kesempatan adat seperti upacara perkawinan, kelahiran, mandi-mandi pengantin (badudus, Jawa; midodereni), piduduk menjadi alat budaya yang “harus” ada. Realitanya abad boleh berganti namun adat tetap lestari. Budaya menyiapkan piduduk dalam upacara penting kehidupan anak suku Banjar hingga hari ini masih bisa dijumpai.
Moderasi beragama berbasis kearifan lokal dalam contoh akulturasi budaya telah menjadi karakteristik sejarah suku Banjar. Tidak terbantahkan bahwa upacara adat tanpa piduduk menjadi seperti sayur tanpa bumbu penyedap. Istilah ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat mengakomodir percampuran budaya dan agama dalam bingkai kehidupan masyarakat yang damai. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan namun tampilnya penerimaan dan toleransi menjadikan kehidupan beragama mendapatkan makna sejatinya. Dalam kasus piduduk, adanya pisang talas, gula aren, telur bebek, beras, dan kelapa, dapat dikategorikan sebagai benda budaya sedangkan nilainya adalah ajaran agama.
Pada eranya piduduk bisa jadi menjadi “benda” sakral yang secara magis terhubung dengan “penduduk langit”. Namun dalam era sekarang praktik menyiapkan piduduk dapat dimaknai sebagai penghormatan atas tradisi lama yang sudah mengakar. Adapun konsep piduduk di era saat ini, bukan lagi sebagai alat sesaji melainkan benda budaya. Laku ini sebagai bentuk penghormatan atas tradisi. Seseungguhnya makna di balik piduduk adalah simbol kemakmuran hidup. Doa dan harapan yang diidamkan setiap insan.
Dalam memaknai budaya piduduk, sebenarnya tujuan akhir dari semua doa adalah kepada Allah SWT. Jadi realita piduduk adalah sebagai benda budaya sedangkan harapan kemakmuran, keselamatan, dan kebahagiaan hidup semata-mata tertuju kepada Alah SWT. Allah Zat Yang Maha Pemberi Lagi Maha Menguasai diri.
Dibutuhkan kearifan personal dalam menerima perbedaan pandangan baik di kalangan umat beragama maupun intern penganut agama. Moderasi adalah penampakan sikap bijak yang menuntut latihan terus menerus. Dalam mendudukkan contoh kasus piduduk , moderasi lebih ditujukan kepada pemeluk agama yang sama. Dengan menerima perbedaan cara pandang diharapkan tidak terjadi penilaian semacam menuduh pelaku tradisi berbuat sesat (syirik/bid’ah dan khurafat).
Ketika menemukan pelaksanaan tradisi ini dalam upacara adat maka sikap yang perlu diutamakan adalah menunjukkan kedewasaan emosional, spritual, dan sosial. Menerima bahwa fakta budaya adalah sesuatu yang mengikat kehidupan masyarakat. Jika demikian maka yang berlaku adalah secara materi piduduk adalah benda budaya sedangkan nilai yang melatarbelakangi kehadirannya adalah penghormatan terhadap budaya dan doa kebaikan kepada Allah SWT. Wallahu’alam.
(Dr. Hj. Rusmiati Indrayani, S. Ag. M.Pd. adalah Dosen STAI Sangatta dan pemerhati budaya Kalimantan. Penulis tinggal di Kota Bontang, Kalimantan Timur)