Paradase.id – Presiden Joko Widodo telah menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh terkait penempatan perwira TNI aktif dalam berbagai jabatan sipil di kementerian dan lembaga pemerintahan. Keputusan ini diambil sebagai tanggapan atas polemik yang timbul setelah Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA), ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi,” kata Presiden Jokowi di Jakarta seperti yang dikutip dari Antara pada Senin (31/7).
Kasus yang menjerat Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi ini berawal dari tuduhan menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar terkait beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada periode 2021-2023. Selain Kepala Basarnas, ada satu tersangka lain yang juga perwira TNI aktif, yaitu Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Selain itu, beberapa pihak sipil juga terlibat dalam kasus ini, termasuk Komisaris Utama PT. Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Penyidik lembaga antirasuah berhasil mengungkap kasus ini melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.
Namun, pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengakui bahwa anak buahnya telah melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI. Pernyataan ini disampaikan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, didampingi oleh Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Marsekal Pertama Agung Handoko, beserta jajarannya, mendatangi gedung KPK.
Terkait polemik ini, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengatur bahwa jabatan sipil hanya boleh diduduki oleh prajurit yang sudah pensiun atau mundur dari dinas militer. Meskipun demikian, pada ayat (2) Pasal 47 UU TNI menyebutkan adanya sejumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif, termasuk di antaranya adalah jabatan di Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), Basarnas, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.
Namun, persoalan muncul karena Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Sementara itu, Pasal 65 ayat (2) UU TNI menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk pada kekuasaan peradilan militer “dalam hal pelanggaran hukum pidana militer”.
Selain itu, dalam pembahasan internal perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Mabes TNI mengajukan usulan agar prajurit aktif dapat lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga pemerintahan. Dalam usulan revisi UU TNI tersebut, prajurit aktif TNI bisa ditempatkan di 18 kementerian dan lembaga, ditambah dengan kementerian lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit TNI sesuai kebijakan Presiden, seperti Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) Kemendagri, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dengan adanya evaluasi ini, Presiden berupaya mencegah terjadinya penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki perwira TNI aktif dalam jabatan sipil. (Sumber: antara.com)
Editor: Faizah